Selasa, 18 November 2008

Kisah tipesku (1)

Kisah tipesku (1)

Antara Bubur, Sop, dan Kasih Sayang Ibu



Pemeriksaan secara umum dan tes darah sudah dilakukan. Dan hasilnya pun sudah dalam genggaman tangan.

“Positif tipes. Mba ga boleh makan apapun kecuali bubur karena ususnya belum kuat. Mba juga jangan melakukan aktivits berat karena imunitasnya sedang sangat turun. Selain itu trombosit mba juga dibawah rata-rata. Jadi dua hari lagi mba harus kesini untuk cek darah lagi karena dikhawatirkan mba kena demam berdarah. Jangan lupa obatnya diminum sesuai aturan. Cepet sembuh ya…”

Kira-kira itulah wejangan dari pak dokter yang selalu diamini oleh orang yang sedang sakit. Layaknya sebuah hipnotis, para pasien yang datang ke dokter pasti melakukan apa yang diperintahkan orang berstetoskop itu. Termasuk saya. Maka sejak saat pulang dari dokter, dimulailahlah ritual makan bubur. Sarapan bubur, makan siang bubur, makan malam bubur. Semuanya serba bubur. Dan itu seharusnya berlangsung selama tujuh hari. Bayangkan saudara-saudara, TUJUH HARI!!!

Tapi pada hari ke-empat, entah mengapa saya ingin sop. Bukan sop yang biasa ada di warung-warung nasi biasanya, tapi saya kepingin sop bikinan ibu. Entah kenapa. Sejak detik itu yang terbayang hanya sop bikinan ibu. Kuah hangat yang nikmat beserta kaldunya, harmonisnya bumbu-bumbu yang berpadu, empuknya daging ayam yang ada didalamnya, sayuran yang tidak keras tapi juga tidak hilang vitamin didalamnya. Semuanya kelezatan itu berputar-putar di kepala saya.

Tak terasa adzan dzuhurpun berkumandang. Itu artinya saya harus makan siang dan minum obat (lagi). Dan artinya juga, saya harus kembali makan bubur. Ah... bosan rasanya makan bubur terus. Dan bayangan tentang sop bikinan ibupun kembali terbayang. Dan saya tak sanggup membendungnya lagi. ”Saya harus makan sop bikinan ibu!!!,” batin saya.

Akhirnya dengan segenap kemampuan saya, saya putuskan untuk pulang. Setelah berkemas-kemas dan nekat naik angkot ke stasiun, akhirnya melajulah saya dengan kereta parahyangan ke bekasi jam lima sore. Disepanjang jalan terbayang sudah kelezatan sop bikinan ibu.

”Tapi mana mungkin. Kemungkinan saya sampai jam delapan malam. Masa saya minta dibikinkan sop jam delapan malam? Huff... baiklah. Saya akan bersabar sampai esok hari. Nanti saat pulang saya bilang sama ibu kalau besok minta dibikinkan sop. Pasti ibu mau,”pikir saya.

Ternyata benar. Saya sampai jam delapan malam. Dan harus mengetuk pintu berkali-kali untuk bisa masuk ke dalam rumah karena penghuni rumah sedang khusyuk di depan tv menunggu kepastian eksekusi Amrozi cs. Maklum, saat itu berita tentang eksekusi Amrozi cs memang sedang hangat-hangatnya.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya dibukalah pintu rumah. Dan saya langsung masuk ke dalam untuk menemui ibu.

”Masak apa bu?”

”Masak Sop”

Mendengar jawaban itu saya langsung menangis. Betapa terharunya saya pada ikatan ibu dan anak yang kami punya. Ternyata hasrat saya untuk memakan sop bersambut dengan naluri ibu yang mengetahui hasrat anaknya itu, meskipun kami terhalang oleh jarak yang cukup jauh. Dan sayapun langsung makan dengan lahap. Ibu yang tidak tau apa-apa tentu saja merasa aneh. Tapi saya cuma bisa bilang,

”Terima kasih bu ^^”

Tidak ada komentar: